“2 dari 3 polisi
masuk neraka”. Mungkin kalimat ini terdengar asing dan agak aneh di
telinga kita, bahkan terdengar ngawur. Dimana letak keanehannya? ya,
biasanya kita mendengar suatu dalil dengan kalimat: “2 dari
3 hakim masuk neraka”. Mohon maaf sebelumnya, tulisan ini tidak berniat
untuk mengkritisi sesuatu dari segi agama atau melecehkan dalil hukum
Islam, tentu tidak, tulisan ini hanya sekedar untuk menyentuh hati
nurani para penegak hukum terutama para aparat kepolisian.
Menjadi seorang hakim dinilai sebagai suatu profesi yang berat, mengapa tidak? Karena
pekerjaan sebagai seorang hakim ialah pekerjaan yang sangat beresiko,
sebab keputusannya diharapkan dapat memenuhi keadilan dari pihak-pihak
yang bersengketa sehingga keputusan hakim menentukan nasib seseorang,
ketika keputusan dijatuhkan, tak jarang ada pihak yang tidak puas dengan
putusannya. Di dunia, ia akan berhadapan dengan para pihak yang tidak
berpuas hati dengan keputusannya, sedangkan di akhirat hakim diancam
dengan neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang
seharusnya. Disinilah letak resikonya.
Kita
tahu bahwa di Indonesia, sebelum suatu perkara tindak pidana diadili dan
diputus oleh hakim di persidangan, perkara ditangani oleh pihak
kepolisian Sesuai pembagian kerja antara Kepolisian Negara
dan Kejaksaan, penuntutan perkara diserahkan semata-mata kepada
Kejaksaan, sedangkan untuk penyidikan diserahkan kepada Kepolisian. Nah
yang jadi permasalahan ialah bagaimana jika penyidikan dilakukan tanpa
keadilan?
Contoh
kasus nih, ada seorang korban tindak pidana asusila yang pelakunya
kebetulan anak pejabat yang secara otomatis dari kalangan orang berada
dan punya kekuasaan. Laporan si korban diterima namun dalam proses
penyidikan sangat tidak adil, penyidik pasif dalam penyidikan dan
akhirnya pelaku tidak juga ditetapkan sebagai tersangka
yang artinya cukup sudah perkara berhenti sampai di kepolisian saja.
Perlakuan penyidikpun sangat berbeda saat menyidik korban dan pelaku.
Polisi bahkan menampakkan jika mereka cenderung membela pelaku di depan
mata kepala korban. Sungguh ironis bukan? Tentu pertanyaan yang ada di
kepala kita dalam kasus ini ialah “Mengapa sikap penyidik demikian?”. Yah
tentu kita sudah tahu jawabnya. Kasus tersebut hanyalah salah satu
contoh kecil dari ribuan kasus yang ditangani oleh kepolisian tanpa
keadilan.
Wewenang
kepolisian dalam hal menyidik sangat memiliki peranan dalam sistem
hukum pidana di negara kita, menurut saya kunci dari perkara bisa
dilanjutkan atau tidak adalah berada di tangan kepolisian. Kita tidak
usah berfikir jauh-jauh sampai ke putusan hakim, sampai ke persidangan
atau apalah. Jika kepolisian tidak memberi rambu hijau untuk melanjutkan
perkara, tentu semua berakhir kan? Lalu bagaimana dengan para polisi
yang menangani perkara dengan lebih mementingkan mana pihak yang lebih
kuat duitnya? Lalu bagaimana nasib korban-korban yang datang ke kantor
polisi untuk mengharap keadilan namun mereka dari kalangan orang tidak
mampu? Taukah kita bahwa begitu banyak surat laporan tertumpuk di
kepolisian dan tidak ada penyelesaian dari laporan-laporan tersebut?
Jadi sekarang yang memutuskan seseorang bersalah atau tidak secara tidak
langsung sudah bergeser ya?
Jika
begitu, tentu menjalani profesi sebagai seorang polisi bisa dikatakan
sama beratnya dengan menjalani profesi sebagai hakim. Dan begitu pula
dengan pertanggung jawabannya kan??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar